Membaca kembali pemikiran Gus Dur tentang “Pesantren sebagai Subkultur” yang tertuang dalam buku “Islam Kosmopolitan”, kita semakin takjub terhadap fungsi pesantren sebagai agen perubahan kultural dan corong pribumisasi Islam. Dari zaman “old” hingga “now”, Kiai, –yang oleh Clifford Geertz dijuluki “cultural broker” karena mampu menempatkan diri pada posisi tengah2 antara kaum elite perkotaan (very urbanized elite) dengan segala watak yang menyelubunginya dengan kalangan alit petani pedesaan (very traditional pleasantary) sehingga fasih berperan sebagai jembatan yang menghubungkan budaya kota (urban cultures) dengan tradisi desa (rural cultures)– tetap memegang porsi dominan dan belum tergantikan oleh unsur lain yang biasanya membentuk ekosistem pesantren, seperti ustadz, santri, masjid, dan bangunan fisik pesantren. Predikat “cultural broker” yang disematkan Geertz tersebut, sebenarnya masih menyisakan celah untuk kita kritik. Sebab, fungsi kiai di masyarakat, utamanya di kawasan pedesaan, tidak hanya mengurusi persoalan budaya “an sich”.
Seluruh siklus kehidupan, baik yang tampak maupun yang gaib, dari dunia nyata hingga dunia klenik, persoalan politik, ekonomi, hukum, sampai keamanan, seluruhnya tidak lepas dari campur tangan kiai. Orang desa sudah terbiasa meminta pertolongan kiai dalam bidang apapun. Ketika kita berusia tujuh bulan di dalam kandungan, doa kiai sudah mengiringi. Setelah lahir, nama yang kelak akan melekat pada diri kita juga hasil dari konsultasi orang tua kepada kiai. Saat khitan (bagi laki2), terasa kurang sempurna tanpa barokah doa kiai. Giliran menikah, seluruh syarat rukun dan “tetek bengeknya” pasti mengacu pada nasehat kiai. Ketika mengalami kesulitan dalam karir, larinya pun kepada kiai. Sampai tiba waktunya kita harus meninggalkan dunia ini, yang ngurusin ritual pemakaman, upacara tujuh, empat puluh, dan seratus hari juga kiai. Anak sakit gak sembuh2, selain ke dokter, juga memilih jalur altetnatif lain, termasuk minta “lantaran” penawar kepada kiai. Sudah menjadi kelaziman bahwa masyarakat menempatkan kiai pada level yang lebih tinggi daripada orang awam. Jadi, kiai tidak lagi sekedar “cultural broker”, melainkan “manusia serba bisa” atau “problem solver” segala macam persoalan keumatan.
Keunikan pesantren sekaligus jadi pembeda dari institusi pendidikan lain yaitu pada aspek orientasi pembelajaran. Santri lebih mengutamakan “ngelmu” daripada pengetahuan. Yang pertama bersifat substantif, esoteris, dan batiniyah. Sedangkan yang kedua cenderung empiris-rasional. Wajar saja, ketaatan santri kepada Kiai lebih dari segalanya. Santri–biasanya mereka yang sudah senior– rela mengedepankan titah kiai dengan memposisikan dirinya sebagai khadim (pelayan). Misalnya, mencarikan rumput ternaknya kiai, “momong” Gus atau Neng (putra/putri kiai yang masih kecil), bersih2 “ndalem” (kediaman) kiai, dan mendampinginya berdakwah dari kampung ke kampung dalam rangka mendidik umat. Keikhlasan dan ketawadlu’an dalam mengabdi kepada Kiai, diyakini menjadi “sebab” diperolehnya “barokah” sebagai tangga pencapaian “ngelmu”. Budaya semacam ini dibilang unik, karena tidak akan kita jumpai di luar pesantren.
Dunia persekolahan, misalnya, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, condong memprioritaskan “pengetahuan” dan mengesampingkan “ngelmu”. Kualitas keilmuan peserta didik bertumpu pada logika matematis yang biasanya dicirikan oleh tingginya Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Padahal, masyarakat tidak pernah menanyakan berapa IPK mahasiswa. Yang mereka nantikan ialah kiprah dan kebermanfaatannya. Setinggi apapun IPK, jika tidak dibarengi dengan “proses yang baik”, maka mustahil “dipakai” oleh masyarakat. Siap2 aja mengisi keranjang sampah. Lupakah kita pada pesan Tan Malaka? “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”
Pesantren dan sekolah hanyalah perantara. Pelabuhan terakhir kita ialah hidup dalam masyarakat yang beraneka. Jadilah “jembatan” yang menghubungkan. Bukan sebaliknya, jadi “jurang” yang memisahkan.
Penulis adalah Ahmad Saifudin S.Pd.I, M.Pd.I , Dosen Pendidikan Agama Islam UNISNU Jepara, Aktif di Gusdurian Jepara serta Departemen IPTEK dan Kajian Strategis Ansor Jepara