Syarat Harta yang Wajib Dizakati

2
677
Syarat harta yang wajib dizakati. Foto: ansorcyberjepara

Oleh M. Abdullah Badri

AnsorJepara.or.id – Syarat harta yang wajib dizakati ada enam. Salah satunya adalah milkut tam (kepemilikan utuh). Ulama’ Hanafiyah membahasakannya dengan istilah: milkiyyah muthlaqah (ملكية المال المطلقة). Yakni status kepemilikan harta masih utuh di tangan pemiliknya, sehingga dia bebas memanfaatkannya dan menasharrufkannya.

Harta yang belum dimiliki secara utuh tidak wajib dizakati. Contoh: sudah lunas membeli properti tapi masih dalam proses pengiriman atau tengah finishing. Demikianlah pendapat qaul qadim dari Imam Syafi’i, seperti tertulis dalam Kitab Syarah Fathul Qarib (hlm. 23).

Para ulama beralasan, zakat adalah ibadah maliyah (harta benda) yang terikat dengan kepemilikan. Oleh karenanya, sebesar apapun nilai harta, jika tidak jelas siapa pemiliknya (malik belum muayyan), tidak perlu dizakati. Karena itulah, ulama’ tidak mewajibkan zakat kepada si ghoni (orang kaya) yang hartanya dikuasai penjahat atau dijarah musuh. Syara’ menganggapnya sebagai pemilik yang lemah (dha’if) atau pemilik tidak utuh (naqish).

Baca: Khutbah Jumat: Harta Terpuji dan Harta Tercela

Contoh lain jenis harta yang tidak utuh dikuasai pemiliknya adalah properti yang hilang (sebab dicuri, dighoshob, terjatuh di dasar laut, disita pemerintah, lupa dihutangkan kepada siapa atau lupa disimpan/dipendam dimana). Dalam bahasa fiqih, harta yang raib seperti kondisi yang disebutkan itu, dinamai maludl-dhimar (مال الضمار). Hartanya ada, tapi pemiliknya tak leluasa lagi menggunakannya.

Menurut qaul adhhar (الأظهر) dalam Madzahab Syafi’yyah, pemilik harta dhimar tetap wajib berzakat namun tidak wajib menyerahkan nilai zakatnya secara langsung kepada mereka yang berhak, kecuali setelah hartanya kembali lagi dimilikinya secara utuh.

Jika hartanya kembali dimiliki utuh, dia wajib mengeluarkan zakat, dihitung tiap tahun sejak barang itu raib dari kepemilikan utuhnya. Jika saat dikembalikan mengalami kerusakan atau tidak utuh sempurna seperti sebelum hilang, maka, zakat gugur diwajibkan kepada pemiliknya (Maushu’ah Fiqhiyyah Kuwait, 23/237).

Selain maludl-dhimar, harta wakaf yang tidak muayyan (tidak diperuntukkan khusus perorangan) juga tidak perlu dizakati. Misalnya, wakaf masjid, madrasah atau rumah untuk golongan orang-orang fakir. Karena tidak jelas siapa nama si fakir yang diwakafi (malik), maka, harta wakaf tersebut tidak perlu dizakati.

Sebaliknya, bila penerima wakafnya jelas tersebut atas nama perorangan, sebagian ulama’ Syafi’iyyah tetap mewajibkan zakat. Meski begitu, mayoritas ulama’ Syafi’iyyah menyatakan tidak wajibnya zakat atas harta wakaf, dengan alasan: kepemilikan harta wakaf sudah berpindah ke tangan Allah Swt. (Maushu’ah Fiqhiyyah Kuwait, 23/236).

Lalu, bagaimana hukum harta yang dihutangkan kepada orang lain? Wajib dizakati-kah? Bukankah dunia perbankan memutarkan uang mereka untuk para kreditur? Apakah bank wajib mengeluarkan zakat harta terhutangnya? Untuk menjawab masalah ini, insyaAllah lain waktu. Wallahu a’lam. [ansorjepara.or.id/ka]

M. Abdullah Badri, Ketua Majelis Dzikir dan Sholawat (MDS) PC. Rijalul Ansor GP. Ansor Kabupaten Jepara

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here